Getsemani
“Keluarga dan
teman-temanmu sangat sedih dan hidupmu akan berakhir di hadapan regu tembak.
Hal ini terjadi padamu karena kamu berpikir bahwa mengonsumsi narkoba itu
keren. Pada dasarnya, kamu bukan orang jahat; narkoba yang membuatmu berbeda...
Saya merindukan pernikahan. Saya merindukan pemakaman dan kehadiran keluarga
saya sendiri.
Derita dan duka, tidak
hanya saya lakukan untuk diri saya sendiri. Namun, penderitaan saya
timpakan pada keluarga saya yang sangat menyiksa. Sebuah sentuhan sederhana,
seperti pelukan, tidak mungkin bagi seorang pria terkutuk seperti saya. Saya
tidak punya siapa-siapa selain jeruji besi untuk dipeluk ketimbang dipeluk oleh
orang-orang yang saya cintai dan saya rindukan.” (Kompas
9 Maret 2015)
Demikian surat getir Andrew Chan, seorang terpidana
mati karena narkoba asal Australia. Surat itu ditujukan untuk dirinya sendiri. Dia
berhadapan dengan kematiannya. Dan itu membuatnya mengalami pergolakan batin
yang dalam; pergulatan eksistensial. Dia berada di taman “Getsemani”nya. Dia
merindukan pelukan. Merindukan kehangatan dan cinta dari orang-orang yang
mencintainya. Tapi dia bilang “Aku tidak punya siapa-siapa selain jeruji besi untuk
dipeluk.” Di hadapan hukum, ia tidak bisa berbuat apa-apa selain daripada
menerima kematiannya yang menggetirkan itu.
Kita merayakan Minggu Prapaskah Kelima. Yesus juga
berada dalam posisi berhadapan dengan kematian-Nya. Injil Minggu ini membantu
kita merenung tentang hal itu. Ia dan murid-murid-Nya dalam perjalanan ke
Yerusalem, menuju penyaliban dan kematian. “Sekarang jiwaku merasa getir.” (Yoh
12:27). Ada pergolakan yang amat mencekam di dalam hati-Nya. Dia sudah tahu, di
Yerusalem, Dia akan disalibkan.
Penginjil Yohanes menempatkan pergulatan
eksistensial Yesus ini sebelum Ia memasuki Yerusalem. Pengarang Injil lain
menempatkannya ketika Yesus berada di taman Getsemani. “Hati-Ku sangat sedih.
Seperti mau mati rasanya.” (Markus 14:34). Di hadapan kematian-Nya di Getsemani,
Yesus mengalami pergulatan eksistensial yang menggetirkan. Dia sendirian. “Regu
tembak” yaitu para algojo (yang merupakan orang yang tidak tahu apa yang
dilakukan) akan mengakhiri hidup-Nya. Di balik “regu tembak” itu, ada hukum
yang melegalkan pembunuhan-Nya, ada dosa yang melilit orang-orang yang
memutuskannya, ada kekuatan si jahat yang merubungi hati manusia. Yesus tidak lari
dari “cawan” yang harus diminum-Nya itu. Demikian juga Andrew Chan. Tidak ada
pilihan lain baginya selain menghadapi dengan getir kematiannya.
Keidupan berasal dari Tuhan, maka hanya Dia pulalah
yang berhak mengambil kehidupan setiap orang. Siapapun tidak berhak membunuh
seseorang. Menghukum mati seseorang adalah tindakan dosa berat melawan Tuhan. Akan tetapi, manusia seringkali merasa dirinya lebih dari Tuhan, sehingga
ia mengambil nyawa orang lain, sehingga mereka menciptakan hukum yang
melegalkan pembunuhan. Manusia seringkali merasa diri lebih dari Tuhan,
sehingga bom yang merenggut nyawa banyak orang terus-menerus terjadi. Kemarin
lusa belasan orang mati oleh bom bunuh diri di Tunisia, kemarin seratus lebih
mati karena bom bunuh diri di Sanaa, Yaman. Betapa jahat manusia itu!
Penyaliban Yesus yang akan kita peringati pada
Jumat Agung nanti, akan membongkar semua kejahatan manusia itu. Semoga Tuhan
memberikan istirahat kekal (nantinya) kepada Andrew Chan, orang-orang yang mati
seperti dia, dan juga semua orang yang mati karena dibom, diaborsi dan dibunuh
dengan cara apapun.
Lamtarida Simbolon, O.Carm
Salamanca-Spanyol, 20 Maret 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar