Sabtu, 21 Maret 2015

Getsemani (Percik Prapaskah 5)

Getsemani


“Keluarga dan teman-temanmu sangat sedih dan hidupmu akan berakhir di hadapan regu tembak. Hal ini terjadi padamu karena kamu berpikir bahwa mengonsumsi narkoba itu keren. Pada dasarnya, kamu bukan orang jahat; narkoba yang membuatmu berbeda... Saya merindukan pernikahan. Saya merindukan pemakaman dan kehadiran keluarga saya sendiri.

Derita dan duka, tidak hanya saya lakukan untuk diri saya sendiri. Namun, penderitaan saya timpakan pada keluarga saya yang sangat menyiksa. Sebuah sentuhan sederhana, seperti pelukan, tidak mungkin bagi seorang pria terkutuk seperti saya. Saya tidak punya siapa-siapa selain jeruji besi untuk dipeluk ketimbang dipeluk oleh orang-orang yang saya cintai dan saya rindukan.” (Kompas 9 Maret 2015)

Demikian surat getir Andrew Chan, seorang terpidana mati karena narkoba asal Australia. Surat itu ditujukan untuk dirinya sendiri. Dia berhadapan dengan kematiannya. Dan itu membuatnya mengalami pergolakan batin yang dalam; pergulatan eksistensial. Dia berada di taman “Getsemani”nya. Dia merindukan pelukan. Merindukan kehangatan dan cinta dari orang-orang yang mencintainya. Tapi dia bilang “Aku tidak punya siapa-siapa selain jeruji besi untuk dipeluk.” Di hadapan hukum, ia tidak bisa berbuat apa-apa selain daripada menerima kematiannya yang menggetirkan itu.

Kita merayakan Minggu Prapaskah Kelima. Yesus juga berada dalam posisi berhadapan dengan kematian-Nya. Injil Minggu ini membantu kita merenung tentang hal itu. Ia dan murid-murid-Nya dalam perjalanan ke Yerusalem, menuju penyaliban dan kematian. “Sekarang jiwaku merasa getir.” (Yoh 12:27). Ada pergolakan yang amat mencekam di dalam hati-Nya. Dia sudah tahu, di Yerusalem, Dia akan disalibkan.

Penginjil Yohanes menempatkan pergulatan eksistensial Yesus ini sebelum Ia memasuki Yerusalem. Pengarang Injil lain menempatkannya ketika Yesus berada di taman Getsemani. “Hati-Ku sangat sedih. Seperti mau mati rasanya.” (Markus 14:34). Di hadapan kematian-Nya di Getsemani, Yesus mengalami pergulatan eksistensial yang menggetirkan. Dia sendirian. “Regu tembak” yaitu para algojo (yang merupakan orang yang tidak tahu apa yang dilakukan) akan mengakhiri hidup-Nya. Di balik “regu tembak” itu, ada hukum yang melegalkan pembunuhan-Nya, ada dosa yang melilit orang-orang yang memutuskannya, ada kekuatan si jahat yang merubungi hati manusia. Yesus tidak lari dari “cawan” yang harus diminum-Nya itu. Demikian juga Andrew Chan. Tidak ada pilihan lain baginya selain menghadapi dengan getir kematiannya.

Keidupan berasal dari Tuhan, maka hanya Dia pulalah yang berhak mengambil kehidupan setiap orang. Siapapun tidak berhak membunuh seseorang. Menghukum mati seseorang adalah tindakan dosa berat melawan Tuhan. Akan tetapi, manusia seringkali merasa dirinya lebih dari Tuhan, sehingga ia mengambil nyawa orang lain, sehingga mereka menciptakan hukum yang melegalkan pembunuhan. Manusia seringkali merasa diri lebih dari Tuhan, sehingga bom yang merenggut nyawa banyak orang terus-menerus terjadi. Kemarin lusa belasan orang mati oleh bom bunuh diri di Tunisia, kemarin seratus lebih mati karena bom bunuh diri di Sanaa, Yaman. Betapa jahat manusia itu!

Penyaliban Yesus yang akan kita peringati pada Jumat Agung nanti, akan membongkar semua kejahatan manusia itu. Semoga Tuhan memberikan istirahat kekal (nantinya) kepada Andrew Chan, orang-orang yang mati seperti dia, dan juga semua orang yang mati karena dibom, diaborsi dan dibunuh dengan cara apapun.   


Lamtarida Simbolon, O.Carm
Salamanca-Spanyol, 20 Maret 2015



Tidak ada komentar:

Posting Komentar