Senin, 02 Maret 2015

DEBU (Percik Rabu Abu)


Salah satu puisi TS Eliot berjudul Rabu Abu (Ash Wednesday). Puisi itu bukanlah berisi tentang hari Rabu Abu seperti yang biasa kita peringati dalam Gereja Katolik, tapi berkisah tentang perjalanan pertobatan Eliot. Puisi itu ditulis setelah ia menjadi pengikut Kristus dalam gereja Anglikan pada tahun 1929. Baris-baris puisi itu menyiratkan keraguan Eliot dalam menjalani pertobatannya. Bukan Tuhan yang ia ragukan, melainkan kemampuannya untuk bertobat.
Rabu Abu merupakan awal masa pertobatan dalam Gereja kita. Setiap Rabu Abu, orang-orang Katolik diolesi atau ditaburi debu. Peristiwa ini menggelikan sekaligus mengharukan. Tidakkah geli melihat para artis yang biasanya berwajah bersih, tiba-tiba "dikotori" dengan debu? Tapi, tidakkah mengharukan melihat semua orang Katolik, bahkan Paus, mengakui kerapuhan dirinya laksana debu?
Debu memang melambangkan keringkihan. Kerapuhan! Tak ada apa-apa kita ini! Hanya debu! Allah menciptakan manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya (Kej 2: 7). Hanya karena Allah menghembuskan nafas-Nya maka manusia itu menjadi makhluk hidup. Dan pada akhirnya manusia akan menjadi debu. Sebab engkau debu dan akan kembali menjadi debu (Kej 3: 19).
Debu juga melambangkan pertobatan. Ada banyak kisah dalam Kitab Suci yang mengawali pertobatannya dengan menggunakan debu. Salah satunya pertobatan Niniwe. Ketika Yunus mengumumkan bahwa Niniwe akan ditunggangbalikkan Tuhan, maka raja Niniwe turun dari singgasananya, ditanggalkannya jubahnya, diselubungkannya kain kabung, lalu duduklah ia di atas abu (Yun 3: 6). Berkat pertobatan mereka itu, Tuhan berbalik dan mengampuni dosa mereka. 
T.S. Eliot meragukan dirinya dalam mejalani pertobatan. Ia sadar betapa dirinya hanyalah debu, sementara betapa banyak tantangan dan godaan yang harus dilalui ketika seseorang benar-benar ingin bertobat. Kita juga tidak jarang demikian. Perasaan tidak mampu, perasaan bersalah dan berdosa kerap menggelayuti hati dan pikiran, di awal masa pertobatan kita.
"Mampukah aku menjalani pertobatan ini dengan setia? Bukankah aku akan jatuh dan jatuh lagi nanti? Bukankah dosa-dosaku terlalu besar sehingga aku tidak pantas menerima belas kasihan Tuhan?" Begitulah pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul di dalam hati orang yang ingin bertobat.
Salah satu hal yang sangat penting kita imani ialah: kemurahan hati Allah jauh lebih besar daripada dosa. "Mengapa rajawali mengepakkan sayapnya?" Tanya Eliot dalam puisinya. Memang, Allah itu bagai rajawali ketika Ia membawa orang Israel yang berdosa itu keluar dari perbudakan Mesir menuju tanah Kanaan, tanah kebebasan. Sang Rajawali itu membawa orang Israel di atas kepak sayap-Nya. Mengapa Sang Rajawali itu mengepakkan sayapnya? Karena Ia sayang akan anak-anak-Nya. Dia ingin agar semua anak-Nya bebas dari perbudakan dosa.
Melalui masa pertobatan yang kita masuki mulai Rabu Abu ini, Sang Rajawali itu juga akan membawa kita di atas kepak sayap-Nya. Meski kita ini hanya debu, meski banyak dosa, Sang Rajawali itu sayang pada kita, anak-anak-Nya. Maka, mari kita jalani masa pertobatan ini dengan penuh iman, hingga akhirnya nanti sampai di tanah kebebasan, yaitu Paskah Kebangkitan Kristus.

Lamtarida Simbolon, O.Carm 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar