Minggu, 15 Maret 2015

ANAK PADANG ILALANG (cerpen)


Masih segar dalam ingatanku, masa kanak-kanakmu yang kau lalui bersamaku, di rumah bambu, dua puluh tahun lalu. Tiada hari yang kau lewatkan tanpa memburu belalang, di padang ilalang. Di remang pagi kau pergi, di terang siang kau pulang. Diam-diam kau pergi, diam-diam kau kembali.

Siang hari ketika aku menanak nasi, kau kembali, membawa pulang belalang. Kau bakar, lalu kita makan. Setelah makan siang, kita ke ladang. Kadang kau bantu aku bekerja, dan kadang kau bermain layang-layang. Malam hari kita jalani berdua, tanpa ayahmu. Kadang kau minta aku mendongeng, atau bercerita tentang ayahmu.

Saat kau minta aku mendongeng, aku lakukan. Saat kau minta aku bercerita tentang ayahmu, aku mengalihkan pembicaraan. Setelah mendengarkan cerita, kau terlelap. Sekitar jam enam pagi aku terbangun, dan kau sudah pergi. Begitulah roda kehidupan kita jalani setiap hari, di usiamu yang masih belia.

Tahun kedelapan usiamu, kau tak bisa lagi mencari belalang di pagi hari, karena setiap pagi kau harus sekolah. Tapi sepulang sekolah kau tetap pergi mencari belalang. Aku memberimu nama “anak padang ilalang”. Nama itu berasal dari ayahmu. Sebelum ia pergi, ia berpesan, ‘Kelak anak kita itu akan menjadi anak padang ilalang.’

Suatu saat, ketika kau sudah beranjak kelas enam, terjadilah itu. Saat kita menyiangi padi di ladang, kau termenung di atas tungku pohon lalu tiba-tiba bertanya, ‘Bu, banyak sekali ilalang ini. Lihat!, padi kita tidak berkembang,’ katamu. Lalu kau makin garang mencabuti ilalang, mengumpulkannya lalu mencincangnya sampai halus. ‘Aku akan mencabut semua ilalang itu, supaya mereka tidak tumbuh lagi,’ katamu. ‘Nak, sampai kapan pun kau takkan dapat membunuh semua ilalang. Mereka akan selalu tumbuh, bersamaan dengan padi,’ kataku.

Lalu, tibalah saat menghalau burung, ketika padi kita sedang mengeluarkan bulir-bulirnya. Sore itu sekumpulan belalang datang, terbang dari padang ilalang dan hinggap di ladang padi kita. Awalnya kau senang sekali. Kau tangkap satu per satu. Kau masukkan ke karung. Kau bawa pulang. Kau bakar. Malam itu, kau makan belalang banyak sekali.

Esoknya kau pergi sekolah. Dan aku ke ladang. Kulihat padi kita, sebagian sudah habis dimakan belalang. Siang kau datang. Kau lihat padi kita habis dimakan belalang. Lalu kau menangkapi belalang itu, banyak sekali, lalu kau bunuh. Akhirnya kau capek sendiri. Sore hari kau tak membawa seekor belalang pun ke rumah.

Pagi-pagi keesokan harinya kau berlari ke ladang padi itu. Dan aku datang. Kau menangis. Kau lihat padi kita hampir habis. ‘Bu, kita makan apa nanti,’ katamu sambil menangis sesenggukan. Aku merangkulmu. Kuajak kau pulang.

Begitu sampai di rumah, kau cari api dan pedang. ‘Aku akan membakar semua belalang itu, dan menebas semua ilalang tempat mereka itu berasal,’ katamu lalu kau berlari. Menjelang malam kau datang, kelelahan, membawa pulang pedang. Malam itu, kita sulit sekali tertidur. Kau gelisah sekali. Kadang kau menangis. Tengah malam, kau berkata, ‘Mengapa belalang-belalang itu menghabiskan padi kita? Tidakkah mereka tahu kalau kita ini miskin?’ Kau terdiam sejenak. ‘Aku takkan mau lagi makan belalang. Belalang itu jahat.’

Dan sekarang, masa kanak-kanakmu sudah lama berlalu. Masihkah kau berburu belalang dan ilalang? Sekarang, Anakku, aku sudah tua. Aku kini menanti senja, dan aku akan berlabuh. Aku rindu padamu. Pulanglah, Nak!

***
Ibu, di pantai ini aku berdiri, memandang senja. Di sini aku sendirian. Aku teringat padamu. Ibu pasti sendirian di rumah bambu kita, mengarungi hari tua. Ingin rasanya aku pulang, Ibu. Kuingin melihat garis-garis kehidupan di wajahmu yang renta. Kuingin merangkulmu.

Aku teringat juga masa kanak-kanakku, yang dulu kulalaui bersamamu. Aku teringat rumah, ladang, belalang dan padang ilalang. Aku teringat malam setelah padi kita dihabiskan belalang. Ibu duduk di dekat perapian, tegar, kadang-kadang berdoa. Sedangkan aku duduk di sampingmu, sambil melancarkan pertanyaan-pertanyaaan. ‘Mengapa mesti ada belalang? Mengapa mesti mereka habiskan padi kita?’

Ibu menjawab pelan, ‘Nak, kalau tidak ada ilalang atau belalang, kita tidak menghargai padi. Ilalang ada agar kita berjuang menyisihkan padi darinya, supaya padi itu berkembang.’ Dulu, aku tidak bisa menerima apa yang Ibu katakan itu. Sekarang, setelah dua puluh tahun berlalu, aku semakin mengerti. Ketika aku bertambah besar, tahulah aku bahwa banyak sekali ilalang dan belalang kehidupan. Apalagi setelah malam ketika Ibu membuka tabir itu, saat Ibu bercerita tentang ayah.

Ibu bilang bahwa ayah itu orang jujur, tulus, sangat rajin berusaha dan berdoa. Tak pernah menyakiti orang. Namun suatu hari, segerombolan orang datang ke rumah. ‘Mereka menyeret ayahmu seperti binatang. Hanya karena ayahmu tak mau memberi sepertiga hasil cengkehnya sebagai “uang keamanan”. Begitulah, saat itu kami kalah. Kalah karena benar.’

Saat itu darahku mengalir deras. Ibu tak mau memberitahuku siapa pembunuh ayah itu. ‘Jangan, Anakku. Tidak ada gunanya balas dendam. Ibu sudah memaafkan mereka. Dan kamu pun, harus belajar memaafkan.’

‘Tidak, Ibu. Aku akan mencari dan menghabisi mereka.’ Dari situlah awalnya aku bercita-cita menjadi tentara. Aku ingin menembak mati para pembunuh itu. Seperti biasanya, Ibu tak kuasa melarangku. Kita jual ladang, lalu aku melamar tentara, dan menang. Dan aku tertawa.

Ketika aku sudah mengetahui para pembunuh itu, aku pergi ke rumahnya. Kukenakan seragam tentara serta sepucuk pistol kugenggam. Jari telunjukku memegang pelatuknya, namun terjadilah itu. Dia bersembah sujud padaku sambil menangis tak henti-hentinya. Istrinya juga menangis tak henti-henti. Dan tiba-tiba anaknya yang berumur kira-kira tiga tahun menjerit, berlari memeluk ayahnya. Pada saat itu, pistolku jatuh, Ibu. Aku begitu takut, sangat takut. Jantungku berdegup sangat kencang. Keringat mengalir deras di wajahku.

Kuambil pistolku, lalu aku pulang. ‘Jangan pernah menginjak-injak musuh yang sudah minta maaf! Ampunilah dia! Maka kau pun akan diampuni kelak, jika kau bersalah entah kepada siapa pun,’ kata kakek suatu kali. Dan aku mengampuni mereka. Malam-malam setelah peristiwa itu, aku merasakan ketenangan, Ibu. Hantu itu sudah pergi dari diriku, hantu balas dendam. Dan akhirnya, kutinggalkan seragam tentaraku. Sejak itulah aku pergi jauh. Kutinggalkan Ibu sendirian. Aku melang-lang buana sampai ke mana-mana. Satu tahun aku di Kalimantan, setengah tahun di Jambi, dua tahun di Papua, empat tahun di Yogya. Yah…aku semakin mengerti Ibu. Di mana-mana selalu ada belalang dan ilalang kehidupan.

‘Kau takkan sanggup membunuh semua ilalang dan belalang. Mereka itu akan tetap ada sampai kapan pun. Yang penting, kau menyisihkan padi agar jangan terhimpit, supaya padi itu berkembang, dan hasilnya melimpah,’ katamu dulu. Aku setuju padamu, Ibu. Tugas kita adalah hidup di tengah-tengah dunia yang jahat tanpa kita ikut menjadi jahat. Tugas kita ialah mempengaruhi sebanyak mungkin orang untuk berbuat baik. Justru karena ada kejahatan, kita menghargai kebaikan.

‘Ada hal-hal atau tindakan yang tak terbatalkan di masa lampau,’ kata seorang teman suatu kali. ‘Terhadap tindakan itu, kita hanya dapat memaafkan. Sedangkan di masa depan, ada seribu satu tindakan yang tidak dapat diduga. Terhadap tindakan itu, kita hanya dapat berjanji. Memaafkan dan berjanji, itulah dua kemampuan yang secara serentak ada dalam diri manusia.’ Barangkali, pembunuhan ayah itu suatu tindakan yang tak terbatalkan. Aku telah mengampuni pribadi pembunuh itu. Kejahatannya tetaplah kejahatan. ‘Balas dendam akan melahirkan kekerasan terus-menerus. Satu-satunya cara untuk memutus rantai kekerasan itu ialah jalan pengampunan,’ tambah temanku itu.

Terima kasih Ibu, karena Ibu telah memberikan pelajaran-pelajaran kehidupan padaku saat aku masih kecil. Sekarang, barulah aku semakin mengerti. Dari seluruh nasihatmu, inilah yang paling melekat di dalam hatiku: ‘Ampunilah maka kamu akan diampuni.’ Ibu, kini aku datang, tunggulah aku!

Malang 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar