Minggu, 15 Maret 2015

BATAHI (cerpen)


Tigor! Kauingatkah malam itu? Malam saat kerbau kesayanganmu hilang. Kau tak tidur semalaman. Berulangkali kau pergi ke kandang, melihat siapa tahu kerbaumu pulang. 
Esok harinya, kau berlari saat remang pagi. Sendiri! Kaucari di ladang-ladang padi. Kau telusuri tepi-tepi sungai. Tak juga kau temui hingga sore hari. Setelah lelah, kaubaringkan tubuhmu di atas batu. Kau tertidur. Seorang kakek tua datang dan berkata, “Nak, bawalah batahiini. Inilah alatmu sebagai seorang gembala.” Kau terbangun. Kau pegang batahi itu. Lalu kau bawa pergi. 
Kau berjalan perlahan ke arah Timur. Tiba-tiba kaulihat kerbaumu. Kaupecut dengan batahi itu. Kerbaumu tak melawan sedikit pun. Kau bawa pulang. Menjelang senja kau tiba di rumah. Ibumu berlari ke arah pintu dan memelukmu. Diambilnya beras. Ditaruh di kepalamu. “Pir ma tondim, anakku. Kukira kau sudah hilang beserta kerbaumu.” 
Tigor! Semenjak itu kau teguh sebagai gembala. Kau lintasi hujan, kau lewati terik mentari. Kau melanglang di hari siang, kau terobos gelapnya malam. Demi kerbaumu! “Aku ingin jadi gembala ulung,” katamu suatu kali. Ibumu membelimu kerbau betina. Kerbau itu beranak! Berpinak!
Suatu hari kau terheran-heran. Jampalan itu penuh dengan kerbaumu. Hanya dalam lima tahun. Kerbaumu sudah hampir lima puluh. Kau dijuluki “raja parmahan”. Setiap kerbau yang kau gembalakan, beranak-berpinak. Dan satu hal yang tak pernah kau lupa: batahi itu. Ke mana pun kau pergi menggembalakan kerbaumu, kau bawa batahi itu. Sekali kau ayunkanitu, semua kerbaumu menurut. 
Tigor! Raja parmahan! Teman-temanmu heran melihatmu. Sementara mereka main seruling sambil menggembalakan kerbau, kau membaca buku-buku. Sementara mereka pergi mencuri rambutan dan buah-buahan lain, kau duduk di atas kepala kerbaumu sambil melahap buku-buku sastra Batak sampai Inggris. Hampir setiap hari bukumu berganti. Yang tipis dan yang tebal. Seperti kerbau-kerbaumu melahap rerumputan, demikian juga kau melahap buku-bukumu. 
Suatu kali kau kumpulkan teman-temanmu. Kau bercerita. Dan kauingatkah? Setiap kali kau mulai bercerita, teman-temanmu terdiam mendengarkan. Tak ada suara apapun. “Ada suatu kisah,” katamu. “Ada seorang gembala mempunyai seratus ekor kambing. Suatu hari seekor kambingnya hilang. Dia meninggalkan sembilan puluh sembilan ekor kambingnya, demi mencari yang satu ekor. Dan ketika dia menemukan yang seekor itu, dia berpesta dengan teman-temannya, karena dia begitu gembira menemukan yang satu itu. Bagaimana pendapat kalian, seandainya kalian gembala itu?” 
Kalian berdiskusi tentang sikap gembala itu. Ada yang setuju dengan gembala itu, ada yang tidak. “Itu gembala bodoh. Daripada hilang yang sembilan puluh sembilan, lebih baik tidak usah dicari yang satu itu,” kata seorang temanmu. Sore menjelang ketika kalian selesai berdiskusi tentang kisah gembala itu. Akhirnya teman-temanmu menerima kesimpulanmu: gembala yang baik harus mencari dombanya yang hilang, bahkan harus rela mengorbankan nyawanya bagi domba-dombanya. Entah dari mana kau dapat kebijaksanaan itu. Ah, cerdas memang kau Tigor. Begitulah hari-hari masa kanak-kanakmu kau habiskan. Menggembala, membaca, bercerita, memimpin teman-temanmu! 
Tigor! Tak selamanya hari-harimu indah. Suatu siang kerbau-kerbaumu pergi ke ladang padi. Miliki orang lain! Kau saat itu sedang asyik berkisah tentang domba-domba yang nakal. Belum selesai kau berkisah, pemilik ladang menjerit-jerit menyumpahimu karena kerbaumu menghabiskan padinya. Kau berlari. Kau bawa batahi itu. Sekuat tenagamu kau pecut kerbau-kerbau nakal itu. Kau pecut berkali-kali hingga mereka ketakutan. Kauhukum kerbau-kerbau nakal itu. Tak kau beri makan dan minum dari siang hingga sore. Di terik panas itu kautambat mereka. Menjelang malam, barulah kau beri mereka minum. 
Suatu kali tak kau temukan padang rumput yang hijau. Saat itu memang musim kemarau. Kemarau panjang! Kau kelilingi padang-padang, tak ada ilalang. Kau bawa mereka melintasi tanah gersang. Tak ada air! Di tengah terik itu, kerbau kesayanganmu mengamuk. Dia mengejarmu. Kau terkejut. Sesuatu yang belum pernah terjadi! Kau berlari. Makin dikejar. Dia menandukmu hingga kau tercampak jauh. Kau tak sadarkan diri. 
Menjelang malam kau terbangun. Kau cari batahimu. Tak kau temukan lagi. Kau cari terus. Tak jua kau temukan. Kau lihat sebagian kerbaumu masih tertambat di padang. Kau lepas dan kau bawa pulang. Sesampai di rumah ibumu menangis. Dia bawa beras. “Pir ma tondim, anakku. Kukira kau mati,” katanya padamu. Dia tahu segala yang terjadi tentangmu. 
Esoknya kau hitung kerbaumu. Satu hilang. Kau ingat. Kerbau kesayanganmu! Dia pulalah yang menandukmu kemarin. Cepat-cepat kau berlari ke padang. Di saat kau berlari, masih kau dengar samar-samar suara ibumu, “Tak usah lagi kau cari itu.” Tapi kau tak peduli. Kau berlari. Kau ingat apa yang pernah kau ceritakan di padang itu kepada teman-temanmu, “Gembala yang baik mencari dombanya yang hilang. Gembala yang baik menyerahkan nyawa bagi domba-dombanya.” Kau kelilingi padang-padang tempat kau biasa menggembalakan mereka. Tak ada! Kau susuri tepi-tepi jurang tempat kau biasa mencari rumput. Di salah satu tepi, kau lihat bercak-bercak darah. Sadarlah kau, bahwa kerbaumu itu sudah dimangsa binatang buas. Dan di kejauhan di tebing sana, kau lihat kepala kerbaumu sementara tubuhnya tak ada lagi. Kerbau yang kau sayang itu telah dimangsa binatang. 
Kau baringkan tubuhmu di tepi jurang itu. Batahimu hilang. Hilang pula kerbau kesayanganmu. Dan kau tertidur. Kau melihat seseorang. Kakek tua itu datang lagi. “Mulai saat ini, batahimu ada di dalam hatimu.” Lalu dia menghilang. Kau terbangun. Kau cerna kata-kata itu pelan-pelan. Batahi dalam hati! Oh ya, kau ingat sesuatu. Tujuh hari lalu kau baca buku sastra kuno BatakDi sana kau temui ungkapan ini: “Pamuro so marumbalang, parmahan so marbatahi.”
“Tak mungkin seorang gembala tanpa batahi. Kerbau-kerbau atau kambing-kambing itu akan liar kalau tidak dipecut!” Katamu protes saat kau membaca kata-kata itu. Setelah kau tanya kepada ibumu, barulah kau tahu bahwa pepatah itu berarti: dalam hidup, kita harus aman dan rukun bukan karena ada batahi atau senjata, melainkan karena ada hukum belas kasih di dalam hati. “Kau harus menjadi gembala tanpa menggunakan batahi, anakku.” Begitu nubuat ibumu. Dan kau mengerti apa yang dikatakan kakek tua itu, “Mulai hari ini batahimu ada di dalam hatimu!” 
Tigor! Masa kanak-kanakmu telah tertinggal jauh. Beberapa lama sejak hilangnya batahi dan kerbau kesayanganmu itu, kau masuk seminari. “Aku ingin mencari batahi dalam hati,” tulismu dalam buku harianmu suatu kali. Kau telah menemukannya. Tapi kau juga sadar, bahwa pencarianmu tidak akan pernah berhenti. Kini kau kenakan pakaian gembala. Stola dan kasula! Sekarang semua menjadi jelas bagimu. Kisah-kisah hidupmu semasa seorang gembala di waktu kecil, kini datang dan tergambar jelas di hadapanmu. Kakek tua itu luar biasa. “Mulai sekarang, batahimu ada di dalam hatimu.” Ya, di kedalaman hatimu, di situlah terletak cinta kasih. Itulah batahimu! Itulah tali pecutmu! 
Jangan lupa, Tigor! Mungkin pada suatu saat domba-dombamu akan lari meninggalkanmu. Kejarlah mereka dan bawalah batahiyang ada dalam hatimu itu. Bawalah mereka pulang. Ingat saat kau kecil dulu, saat mencari kerbaumu yang hilang itu. Pada suatu saat domba-dombamu itu akan melawanmu. Pecutlah mereka dengan batahi cinta kasih yang ada dalam hatimu itu! Dan bila suatu saat ada singa yang ingin memangsa domba-dombamu, ingatlah apa yang kau kisahkan dulu kepada teman-temanmu, “Gembala yang baik menyerahkan nyawa demi domba-dombanya.” Hanya kalau kau miliki batahi dalam hati itu, maka kau akan mampu menyerahkan nyawamu bagi domba-dombamu, Tigor! 
Jakarta, 20 Nopember 2012

catatan:
Batahi (Batak Toba): tali pecut yang dipakai seorang gembala untuk memecut hewan gembalaannya.
Pir ma tondim (Batak Toba): semoga rohmu kuat dan teguh. 
Jampalan (Batak Toba): padang penggembalaan. 
Raja parmahan (Batak Toba): raja penggembala.
Pamuro so marumbalang, parmahan so marbatahi (Batak Toba): penjaga padi tanpa alat atau senjata, penggembala tanpa alat pecut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar