Minggu, 19 Juli 2015

DARI KEHENINGAN KE BELARASA

Dari keheningan ke belarasa


Saudara-saudari, kita berada di musim liburan. Di Eropa orang-orang sedang menikmati liburan musim panas. Di Indonesia, orang-orang sedang menikmati libur lebaran. Ada yang pergi mudik, pulang kampung, ada yang pergi ke kota-kota lain, ada yang ke luar negeri dan ke berbagai tempat yang menarik, atau ke mana pun, di mana orang bisa merasa senang, tenang, keluar dari rutinitas, jauh dari persoalan-persoalan pekerjaan, dsb.
Yesus juga mengambil waktu untuk berlibur. Dalam Injil hari ini, ketika para murid kembali dari pelayanan mereka dan menceritakan kepada Yesus tentang semua yang mereka lakukan, Yesus berkata, “Mari kita pergi ke tempat hening, berlibur dan beristirahat sejenak.” Yesus tahu bahwa ada banyak pekerjaan; ada banyak orang yang membutuhkan pelayanan, penyembuhan dan pengajaran. Akan tetapi, Dia ingin agar para murid-Nya beristirahat sejenak, berada sendirian untuk memperdalam hidup rohani mereka.
Kesendirian Yesus bersama para murid-Nya bertujuan untuk mengevaluasi misi dan pelayanan yang telah mereka lakukan, memaknainya supaya tidak hilang begitu saja. Juga bertujuan untuk tinggal dalam keheningan, berdoa dan menjalin relasi yang dekat dengan Tuhan. Dari keheningan itulah lahir pelayanan yang benar dan bela rasa yang sejati. Kita lihat, setelah “liburan” dan setelah menjalani kedekatan dengan Bapa dalam keheningan, Yesus merasa berbelaskasihan atau tergerak oleh belarasa akan orang banyak yang bagaikan domba tak bergembala. Dia pun menggembalakan dan mengajar mereka. Bela rasa terhadap sesama lahir dari keheningan hati.
Saudara-saudari, kisah Injil hari ini memberi kita inspirasi, betapa penting tinggal dalam kesendirian dan keheningan. Berada dalam kesendirian dan keheningan membantu kita untuk lebih mengenal diri kita; juga membantu kita untuk dekat dengan Tuhan. Hal itu membuat kita nyaman dan gembira dengan hidup kita: merasa nyaman dengan tubuh kita, semakin yakin dan gembira dengan pilihan hidup kita, semakin mengenali tujuan-tujuan yang hendak kita perjuangkan, juga semakin mengenali keterbatasan-keterbatasan kita yang kita coba terima dan atasi.
Berada dalam kesendirian dan keheningan membuat kita untuk hidup tidak bermuka dua, hidup jujur dan tulus; juga menolong kita untuk berani memandang dengan jernih dan tajam. Dengan demikian, kita akan berani mengucapkan kata-kata yang kuat, tepat dan mendalam, karena keluar dari hati yang jernih dan dari hidup yang utuh; kita akan menjadi gembala yang baik baik orang-orang yang berjalan bersama kita, seperti yang dilakukan Yesus; dan kita akan memiliki belarasa yang sejati terhadap sesama. Kita akan bisa menjadi gembala yang baik bagi sesama kalau kita memiliki belarasa, dan belarasa yang sejati berakar pada relasi yang mendalam dengan Tuhan.



Salamanca, 19 Juli 2015
Hari Minggu Biasa XVI


Pastor A.C. Lamtarida Simbolon, O.Carm

Kamis, 16 Juli 2015

AWAN HARAPAN

Awan Harapan

Pada Hari Raya Maria Bunda Karmel ini, Injil mengajak kita untuk memandang Yesus yang tersalib, dan di sampingnya berdiri Maria dan para perempuan lain serta murid yang dikasihi Yesus. Pada sore yang memedihkan itu, Maria berada dalam situasi yang sangat sulit, saat menyaksikan anaknya berada di ambang kematian yang mengenaskan. Meskipun sangat sulit dan perih, sang ibu tidak meninggalkan anaknya. Dia berdiri teguh di kaki salib. Mungkin, dia mendengarkan kembali dalam hatinya, sabda malaikat pada waktu ia menerima kabar gembira, yang berkata, “Jangan takut, Maria.” Yesus, putranya, berkali-kali mengulangi hal yang sama kepada murid-murid-Nya: jangan takut! Dalam situasi yang teramat sulit itu, Maria memiliki awan harapan dalam hatinya, bahwa salib bukanlah akhir semuanya.
Pada saat itu Yesus berkata kepadanya, “Ibu, itulah anakmu.” Sejak saat itu, Maria menjadi ibu bagi semua orang yang percaya kepada Anaknya dan mengikuti-Nya. Sejak saat itu, Maria menjadi bunda Gereja, bunda semua orang beriman dan bunda semua umat manusia. Bagi para Karmelit juga, Maria senantiasa menjadi pelindung, ibu dan saudara. Dalam tradisi Karmel, yang terabadikan dalam lagu Flos Carmeli, Maria disebut mater mitis atau Bunda yang lembut dan penuh kasih. Relasi para Karmelit dengan Maria, ibunya, adalah hubungan yang penuh dengan kelembutan dan kasih sayang antara ibu dan anak. Apa pun yang terjadi terhadap si anak dan ke mana pun ia pergi, sang ibu yang lembut dan penuh kasih tidak pernah meninggalkannya, tidak pernah berhenti mencintainya. Begitulah kasih sayang Maria Bunda Karmel kepada anak-anaknya, kepada semua umat Kristiani dan kepada semua umat manusia. Dia senantiasa menjadi ibu yang penuh kelembutan dan kasih, yang menyertai anak-anaknya dalam situasi yang sangat sulit dan kompleks.
Saudara-i, bacaan pertama hari ini memberi kita suatu gambaran akan harapan. Sang pelayan berkata kepada Elia, “Awan sebesar telapak tangan naik dari laut.” Saya menganalogikan orang-orang Kristiani masa kini seperti awan kecil ini. Kita seperti awan sebesar telapak tangan di dunia ini. Kita adalah minoritas hampir dalam segala bidang; dalam segi jumlah, kekuatan, kesempatan dan peralatan. Kita tidak memiliki perlengkapan senjata; tidak memiliki apa-apa. Kita hidup di antara kekuatan-kekuatan besar ekonomi, politik dan raksasa konsumerisme. Umat Kristiani hanya seperti embun sebesar telapak tangan. Para Karmelit hanya seperti embun, barangkali jauh lebih kecil lagi dari telapak tangan. Demikian juga dengan keluarga-keluarga semua umat Kristiani di tengah-tengah masyarakat, hanya seperti setitik embun di tengah kemarau panjang. Akan tetapi, seperti dikatakan uskup agung Vietnam F.X. Nguyen van Thuan,  “Kita mengandalkan nama Tuhan. Kekuatan-kekuatan dunia ini akan jatuh satu per satu. Jangan takut!”
Kita adalah saksi-saksi harapan, iman dan cinta kasih, meskipun hanya sebesar awan berukuran telapak tangan. Maria Bunda Karmel selalu menjadi teladan yang sempurna yang tak pernah kehilangan harapan. Dia senantiasa menjadi awan harapan bagi dunia ini. Dalam diri Bunda Maria kita menemukan gambaran sempurna akan apa yang kita inginkan dan harapkan. Hidup bersama dia dan meneladannya, kita selalu belajar untuk tinggal di hadirat Allah. Dia tinggal di antara kita sebagai ibu dan saudari yang senantiasa memerhatikan kebutuhan-kebutuhan kita, senantiasa berjaga, berharap, merasakan dukacita dan sukacita hidup kita.
Skapulir Karmel adalah tanda cinta kasih keibuan dan perlindungan Maria yang melekat dalam hati kita. Kita lanjutkan perjalanan kita; jangan takut, meskipun kita hanyalah awan sebesar telapak tangan. Semoga Maria Bunda Karmel senantiasa menyertai kita dalam perjalanan hidup kita, dan kita senantiasa menjadi awan harapan, cinta kasih dan iman. Tuhan memberkati.


Salamanca-Spanyol, 16 Juli 2015
Pastor Lamtarida Simbolon, O.Carm

(Homili pada Hari Raya Santa Maria Bunda Karmel di gereja Santo Andreas, Salamanca)

Sabtu, 04 Juli 2015

KETIKA TUHAN TIDAK BISA BERBUAT APA-APA

KETIKA TUHAN TIDAK BISA BERBUAT APA-APA

Ada banyak hal menarik dari Injil hari ini. Kita bisa merenungkan PENOLAKAN terhadap Yesus; bisa juga merenungkan KETIDAKPERCAYAAN orang-orang sekampung Yesus; kita bisa juga merasakan betapa MALU dan MARAHnya keluarga Yesus yang hadir dalam rumah ibadat itu melihat anggota keluarganya ditolak dan dilecehkan; dan kita bisa merenungkan betapa HERAN campur BINGUNG para murid Yesus melihat-Nya dan melihat reaksi orang-orang sekampung-Nya.
Saya mengajak Anda untuk merenungkan KEHERANAN dan KEBINGUNGAN para murid. Dalam Injil dua Minggu lalu, mereka melihat badai dan ombak dihardik oleh Yesus. Mereka melihat mukjizat besar. Pada Injil Minggu lalu mereka menyaksikan dua perempuan yang hampir mati diselamatkan oleh Yesus. Akan tetapi, hari ini mereka melihat orang-orang sekampung Yesus, orang-orang yang harusnya bangga terhadap-Nya, menghina dan menolak Yesus. Mereka heran dan bingung juga melihat Yesus yang tidak bisa berbuat apa-apa. Guru mereka yang hebat itu, yang telah mengadakan banyak mukjizat itu, ditolak dan dilecehkan justru di kampung-Nya sendiri.
Kita pun, sebagai murid-murid Yesus masa kini, seringkali heran melihat orang-orang yang menolak Yesus. Agama Kristiani bisa dianalogikan sebagai “tanah kelahiran” Yesus, “kampung” Yesus. Akan tetapi, justru di “kampung-Nya” itulah Yesus lebih banyak ditolak. Bagaimana kita tidak heran melihat orang-orang “sekampung Yesus” menolak Yesus dalam bentuk melakukan korupsi, baik kecil maupun besar? Bukankah menyedihkan melihat orang yang rajin ke gereja masuk penjara karena korupsi? Bagaimana kita tidak heran melihat para pengikut Yesus yang menjadi bandar Narkoba, pengedar dan penggunanya? Tidakkah juga mengherankan melihat pengikut-pengikut Yesus yang dengan bangga melegalkan dan merayakan pernikahan sejenis? Dan ada banyak bentuk penolakan lainnya.
Jangan kita mengira bahwa yang lebih banyak menolak Yesus adalah orang-orang non-Kristiani. Tidak! Yang lebih banyak menolak Yesus adalah orang-orang Kristiani sendiri, “orang-orang sekampung Yesus sendiri”. Kita juga bingung mengapa Yesus tidak melakukan apa-apa di kampung-Nya sendiri? Mengapa Dia membiarkan diri-Nya ditolak dan dilecehkan di hadapan para murid-Nya?
Saya merenungkan dua hal berikut. Pertama, Yesus tidak bisa berbuat apa-apa jika orang tidak memiliki iman. Rahmat dan iman itu bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Tuhan kita itu bukan Tuhan yang memaksa, melainkan memberikan kebebasan kepada kita untuk berkata “ya” atau “tidak”. Tuhan tidak bisa berbuat apa-apa terhadap orang-orang yang mengatakan TIDAK; Ia hanya bisa pergi meninggalkan orang-orang seperti itu, sebagaimana Ia meninggalkan orang-orang Nazaret itu. Terhadap orang-orang yang memilih jalan IMAN, yang berkata YA kepada-Nya, Ia datang untuk menyembuhkan, mengajar dan menuntun, serta mengadakan mukjizat-mukjizat di dalam hidup mereka.
Kedua, Yesus mengajar para murid-Nya untuk mencari jalan-jalan lain dalam mewartakan kabar gembira. Menjadi orang Kristiani tidak berarti selalu hidup sukses, menang, dipuji dan diterima. Menjadi pengikut Yesus adalah menjadi seperti Yesus, yang terkadang ditolak, dilecehkan, diludahi, namun tidak kehilangan misi dan harapan. Yesus selalu mencari jalan-jalan lain untuk mewartakan Injil. Ini satu inspirasi yang sangat penting untuk kita; ada banyak jalan lain untuk mewartakan kabar baik, mewartakan kasih. Kita harus mencarinya. 


Salamanca-Spanyol, 3 Juli 2015
Hari Minggu Biasa XIV
Pastor A.C. Lamtarida Simbolon, O.Carm