Petani buta
Ayah ibuku adalah petani. Setiap tahun kami menanam padi. Padi
kami tanam di tanah yang baik, sudah diolah dan digemburkan. Setelah itu, padi
berproses di dalam tanah, dari hari ke hari, hingga panen tiba. Para petani
tidak tahu soal proses pertumbuhan dan perkembangan itu. Yang mereka tahu ialah
menanam, menyiangi, memupuk, berharap, pasrah, memanen.
Hari ini kita mendengarkan Injil tentang petani yang menaburkan
benih. Penabur itu ialah Yesus, benih
itu ialah Sabda dan tanah itu ialah kita. Aku ibaratkan Yesus itu seperti
“petani buta”, yang tidak melihat tanah itu baik atau tidak, subur atau tidak; tidak
seperti ayah-ibuku atau petani pada umumnya, yang harus menyiapkan tanah dan
menanam di tanah yang baik.
Tuhan Yesus itu menaburkan Sabda dan kasih-Nya bukan hanya di
dalam hati orang-orang yang baik, melainkan di dalam hati semua orang. Lalu benih
itu bertumbuh, berkembang sesuai dengan alam, cuaca, jenis tanah, dan juga
kemampuannya untuk berjuang hingga menghasilkan buah. Tuhan tidak pernah bisa
memaksa manusia untuk menghasilkan buah melimpah. Tuhan itu hanya bisa berharap
dan pasrah.
Dua hal sederhana yang saya renungkan dari Injil hari ini.
Pertama, menjadi petani buta seperti Yesus, yang menaburkan benih-benih
kebaikan dan kasih tanpa memandang “jenis tanah”, baik atau tidak; tanpa terlalu
sibuk dengan berbagai pertimbangan, analisis, studi ilmiah tentang konteks,
tantangan dan peluang pewartaan dsb.
Benih-benih Sabda dan iman yang kita taburkan di tempat
kerja, di lingkungan masyarakat yang beraneka ragam jenisnya, di tengah
keluarga dan komunitas, mungkin kelihatannya tanpa hasil, tapi biarlah Tuhan
yang mengurus dan membuatnya berhasil. Yang paling penting bagi kita para
petani buta ialah menaburkan kebaikan di mana pun, baik atau tidak baik
waktunya.
Kedua, petani buta sangat mengerti apa itu BERHARAP dan BERPASRAH.
Harapan dan kepasrahan adalah bagian yang sangat penting dalam diri seorang
petani, terutama petani buta. Berharap bahwa Tuhan memberikan hasil yang baik
sangat penting. Berharap juga berarti beriman.
Akan tetapi, di samping berharap, sangat penting juga berpasrah. Harapan yang menggebu-gebu tanpa
sikap pasrah, akan membuat orang menjadi stres dan putus asa, jika yang
diharapkannya tidak terjadi. Berpasrah berarti beriman, membiarkan Tuhan
melakukan kehendak-Nya dalam semua pekerjaan kita. Jika berhasil, puji Tuhan
dan kita gembira. Jika tidak berhasil, terima kasih Tuhan atas pengalaman itu,
dan kita tidak terlalu kecewa. Menjadi seperti petani buta membuat kita gembira
dan bersyukur dalam hidup.
Salamanca-Spanyol, Minggu 14 Juni 2015
Pastor Lamtarida Simbolon, O.Carm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar